Kamis, 27 Oktober 2016

Sedikit Pengumuman



Baiklah, anggap saja ini semacam pengumuman.

Sudah tiga bulan ini blog Undip Strip tidak saya urus. Alasannya beragam, tapi yang paling utama, minat saya untuk menulis cerita pribadi berkurang. Saya lebih tertarik untuk menulis hal lain, juga mengerjakan hal lainnya.

Rencananya, saya akan aktif menulis di Medium. Selain karena saya suka tampilan webnya yang terlihat profesional dan komunitas dunia yang besar, saya juga sedang berusaha mengasah kemampuan berbahasa inggris saya (sebenarnya menulis di Medium tidak harus bahasa inggris, tapi memang akan lebih baik kalo nulisnya bahasa Inggris). 

Saya bersama rekan-rekan juga sedang mengembangkan Saintif, walau beberapa hari ini sempat vakum karena belum sempat mengurus, tapi Saintif ini akan saya jadikan proyek jangka panjang. 

Saya juga masih aktif di Penggagas... yang beberapa minggu ini belum sempat update sama sekali (baik blog atau facebooknya) karena tim nya pada banyak kerjaan masing-masing. 

Saya juga punya beberapa kerjaan kecil lainnya, tapi tidak saya jelaskan detilnya di sini.

...dan ternyata, selama saya tinggal dan tidak saya urus, traffic blog ini cukup stabil di kisaran angka 100 pengunjung per hari... kecil sekali sebenarnya, tapi cukup menarik karena ini adalah blog tidak penting, yang dulu ya saya yang buat dan saya yang baca sendiri. 

Pencarian google terbesar yang merujuk ke blog ini yaitu dengan kata kunci tentang "SIA undip". Jadi secara kasar blog ini bisa menjadi indikator seberapa banyak mahasiswa undip yang mengakses SIA (Sistem Informasi Akademik) dari google... Pun setiap kali musim uts atau uas blog ini dapet pengunjung nyasar dari kata kunci SIA Undip itu.

Mungkin cukup sekian pengumuman ini. Terima kasih.

Jumat, 15 Juli 2016

Bahkan Sherlock Holmes Tak Mampu Selesaikan Kasus Kopi Sianida

Sherlock Holmes bbc via http://wall.alphacoders.com
Saya benar-benar kaget ketika melihat liputan kasus kopi sianida kembali muncul di tivi. Untuk ukuran kasus pidana orang tidak terkenal macam Jessica dan Mirna, saya tak habis pikir kenapa kasus ini diberitakan besar-besaran di media dan belum selesai sampai saat ini juga.

“Kalau pelaku pembunuhannya orang miskin pasti nggak sampe selama ini pengusutan kasusnya.” Penjaga warteg ngomong ke saya yang sedang asyik makan.

“Iya, Bang, saya mikirnya juga gitu.”

“Terus, ini kan kasusnya racun tho mas... polisi juga udah menyelidiki, tapi kok pas persidangan selalu saja dibilang kurang bukti? Atau yang ini tadi, pengacaranya bilang hasil penyelidikan belum bisa memastikan bahwa Mbak Jesica adalah pelakunya… Jan-jan e ini itu polisinya yang nggak becus menyelidiki apa memang pengacaranya yang hebat berkelit sih mas?”

Sebenarnya saya hendak mengutuk penjaga warung ini, yang nggak kasihan sama saya yang lagi fokus makan. Tapi demi mendengar pertanyaan (dan pernyataan) terakhirnya, saya tergelitik dan tertarik menjawab.

“Kayaknya dua-duanya benar, Bang, polisinya nggak becus menyelidiki sama pengacaranya emang hebat berkelit.” Saya terkekeh menjawabnya, lalu masuk ke dalam pemikiran yang lebih dalam.

Awalnya saya berpikir kasus kopi sianida ini wagu. Bukan, bukan kopi sianida atau tokohnya (Jesica-Mirna) yang membuat wagu, tapi media. Kelakuan media yang memberitakan secara masif timeline kasus peracunan dengan tokoh rakyat biasa yang nggak ngefek apa-apa ini sudah terlalu wagu.

Bayangkan saja, sejak awal Januari sampai Juli ini pastinya sudah ada ribuan liputan dan berita yang terus-menerus membombardir masyarakat, kayak nggak ada hal lain yang perlu diberitakan, kayak nggak ada hal lain yang perlu ditayangkan di tivi.

Tapi setelah saya pikir-pikir, media ternyata benar, memang nggak ada hal lain yang perlu diberitakan, dan nggak ada hal lain yang perlu ditayangkan di tipi. Hal ini baru saya sadari setelah melihat tulisan Mbak Kalis Mardiasih tentang Dangdut Academy, dan saya menyadari alasan paling logis kenapa media terus-terusan memberitakan kasus Kopi Sianida ini, masyarakat mencintai kasus ini.

Penjelasan Mbak Kalis mengenai kesuksesan Dangdut Academy simpel, ketika masyarakat menengah ke bawah sudah jenuh dengan jalinan skenario kehidupan Tukang Bubur Naik Haji (Kemudian Mati dan Nggak Balik-Balik Lagi), Indosiar datang menawarkan konsep acara musik yang menarik.

Senada dengan penjelasan Mbak Kalis, saya perlu menambahi bahwa kasus pembunuhan Kopi Sianida ini pun demikian, datang menawarkan hiburan kasus yang menarik: pembuhunan kelas premium, terencana matang, dan memakai racun sianida (seperti di film-film).

Dalam hemat saya, masyarakat belum pernah disuguhi kasus semenarik ini, sebuah kasus yang benar-benar sempurna jika dimainkan dalam film aksi, pembunuhan dan detektif-detektifan. Saya lalu terpikirkan dengan detektif idola saya, yang selalu dapat menyelesaikan kasus rumit apapun dengan sangat cepat, ialah Mas Sherlock Holmes.

Saya berandai-andai jika Mas Sherlock itu nyata dan dia orang Indonesia, lalu membantu pihak kepolisian memecahkan kasus ini—yang nggak selesai-selesai. Saya membayangkan wajahnya yang seksi dan sok ini mulai melihat TKP, untuk kemudian mengambil deduksi-deduksi penjelasan masalah.

“Robekan kecil di sofa menunjukkan cara duduk Mbak Jesica yang begini, goresan di meja menunjukkan salah satu kopi memiliki berat lebih besar, jangka waktu pelayan buat kopi itu segini yang memungkinkan perubahan kondisi secara wajar di sini, ada sedikit ceceran sianida di kursi ini yang dapat dikenali dengan perubahan warna anu…..” Mas Sherlock menjelaskan deduksinya.

Dengan kelihaian Mas Sherlock dalam melihat detail kecil dan menyimpulkan sesuatu, saya yakin kasus ini akan cepat terselesaikan, dan ulasan berita yang tersaji semakin menarik saja, penyelesaian paripurna untuk sebuah kasus pembunuhan terencana. Belum lagi wajah Mas Sherlock yang akan sering nongol di berita, dan membantu polisi dalam menyelesaikan setiap kasus yang ada, mengisi kekosongan figur detektif di dalam negeri.

Anda pikir hal ini tidak mungkin terjadi? Detektif seperti itu tidak ada? Seharusnya anda yakin, karena Pak De Arthur Conan Doyle (pengarang Sherlock Holmes) nyatanya terinspirasi dari sosok nyata dr. Joseph Bell, dokter dan pengajar di University Edinburgh yang dapat mengambil kesimpulan hanya dengan sedikit observasi. Ia bahkan dapat mengetahui keluhan pasien saat mereka baru memasuki ruangan prakteknya dan belum mengeluarkan satu patah kata pun. Edann...

Tapi setelah dipikir lebih jauh, kehadiran Mas Sherlock dalam pengusutan kasus Kopi Sianida ini nggak akan banyak efeknya. Saya yakin. Kalau nggak percaya, coba perhatikan pola setiap kasus yang sudah pernah diselesaikan Mas Sherlock baik di novel, film, ataupun serial tv. Ia hanya menyelesaikan kasus itu untuk kesenangan pribadi, tak peduli mana yang benar dan salah, tak peduli pelakunya akan diadili atau tidak.

Urusan membawa tersangka ke meja hijau dan memenjarakannya, ia tak pernah ikut-ikutan, hal itu diserahkannya sepenuhnya pada kepolisian. Di sinilah kenapa keberadaannya dalam pengusutan kopi sianida nggak banyak efeknya.

Yang membuat kasus kopi sianida ini jadi lama adalah proses pengadilannya, bukan pada pengusutan kasusnya. Dan karena Mas Sherlock nggak tau apa-apa terkait proses pengadilan, keberadaannya jadi sia-sia. Salah-salah kalau dia ikut proses pengadilan dan melakukan hal keliru, dia malah bisa dilaporkan dan dipenjara.

Kasihan sekali Mas Sherlock ini...

Maka dari itu, bahkan Mas Sherlock pun tidak akan mampu menyelesaikan kasus kopi sianida ini. Lalu siapa yang bisa menghentikannya?

Hanya waktu yang bisa menjawabnya. 
***
Saya tulis di Qureta dan Kompasiana

Senin, 11 Juli 2016

Curhatan Pengguna Toilet Umum

toilet via viva.co.id
Adalah sebuah kewajaran atau bahkan keharusan, jika seorang manusia perlu menuntaskan kebutuhan sistem ekskresinya. Juga merupakan kewajaran, jika seorang manusia memanfaatkan apa yang ia miliki untuk mendapat suatu keuntungan.
Kombinasi dari dua kewajaran itu menghasilkan sebuah ide produk jasa yang cukup menggiurkan keuntungannya, produk jasa yang umumnya menjamur di tempat-tempat umum dan pariwisata. Ia adalah bisnis toilet umum.
Tidak ada yang salah memang, jika seseorang memanfaatkan kebutuhan manusia akan sistem eksresi untuk meraup keuntungan. Namun masalahnya, bisnis toilet umum ini seringkali menyakitkan bagi para konsumen.
Katakanlah Joko yang sedang berada di tempat ziarah kebelet pipis, benar-benar kebelet. Mencari toilet kesana-kemari, untuk kemudian menemukan sebuah tulisan besar di hadapannya, “TOILET”. Bahagia sekali ia setelah menemukan pertolongan itu, segera masuk ke dalam untuk menuntaskan kebutuhannya, dan kemudian membaca serangkaian tulisan di tembok kamar mandinya:
Wudhu Rp 1.000
Kencing, Berak Rp 2.000
Mandi Rp 3.000
TIDAK BAYAR BERARTI HUTANG
Aih, malang sekali Joko ini. Setelah gembira melihat sebuah pertolongan, hatinya ganti mangkel, merasa dibohongi. Karena Joko tinggal di desa, tentu saja ia tahu kalau uang 2.000 adalah nominal yang cukup besar, uang itu cukup untuk mendapatkan sebungkus nasi dan satu buah mbakwan. Namun kali ini ia harus merelakannya untuk sekedar pipis, curr…..
Pengennya Joko sih tidak usah bayar, langsung kabur begitu keluar dari kamar mandi. Tapi kalimat terakhir dari tulisan di kamar mandi menghadangnya: TIDAK BAYAR BERARTI HUTANG. “Aduh, bagaimana ini?” Joko bingung. Mau tidak mau ia harus membayar.
Pada dasarnya Joko fine-fine saja untuk membayar 2000 ke penjaga toilet, tapi sistem yang dipakai membuat hati Joko benar-benar mangkel bin jengkel. Dari luar terlihat ingin memberi pertolongan, tapi ketika sudah masuk ke dalam, ia menusuk dari belakang.
Joko bilang kepada saya, “Harusnya penjaga toilet itu langsung menulis biayanya di tulisan depan, ‘TOILET: wudhu 1000, kencing 2000, mandi 3000’, biar jelas dan tidak terjadi salah paham. Bukannya memunculkan kesan gratis di depan, dan di dalam baru dikasih tau kalau bayar. Setidaknya dari luar saya kan bisa menyiapkan uang untuk membayar.”
Dari kisah Si Joko, kita beralih ke kisah Bambang. Kasusnya agak berbeda dengan Joko, karena kali ini Bambang sedang berada di sebuah rumah makan. Walaupun kejadiaannya ya.. tidak jauh berbeda, Bambang sama-sama merasa dibohongi dengan tulisan TOILET di depan dan rincian biayanya di dalam kamar mandi.
Setelah menuntaskan kebutuhannya Bambang menghampiri ibu tua yang menjaga loket pembayaran, dan memberanikan diri untuk bertanya, “Ini bayar, Bu?”
Si Ibu tua dengan sengak menjawab, “Ya mbayar lah! Air ini airnya siapa? Listriknya punya siapa? Tempatnya ini juga punyanya siapa?!”
Belum selesai Ibu tua itu ngoceh, Bambang sudah kabur terlebih dahulu, kembali menghampiri makanan ala masakan padang yang tadi sudah ia pesan. Ia bernapas lega, karena Ibu tua itu tidak mengejarnya karena belum bayar biaya pipis.
“Saya kira tidak usah membayar. Jadi toilet itu jadi semacam fasilitas untuk orang yang makan di rumah makan itu, tapi ternyata harus bayar. Lah, karena uang saya pas hanya untuk makan saja, dan tidak cukup untuk bayar pipis, saya langsung kabur... wushh, untung penjaganya tidak ngejar saya.” Bambang bercerita pada saya.
Walaupun pada dasarnya keberadaan toilet itu sangat membantu, namun kalau sistemnya seperti itu yang terjadi bukanlah saling menguntungkan antara produsen dan konsumen, tapi si produsen menjebak konsumen. Minimal dibuat seperti usulnya Joko lah, dari depan langsung dikasih tahu kalau harus membayar. Agar konsumen tidak merasa dibohongi dan antara produsen-konsumen terjadi transaksi yang saling menguntungkan.

*catatan satu tahun lalu

Sabtu, 02 Juli 2016

Sejarah dan Makna Halal Bi Halal

saling memaafkan via theindianrevertedmuslimah.wordpress.com
Tidak terasa bulan Ramadhan sudah hampir selesai, dan orang-orang pun mulai ramai mempersiapkan diri untuk menyambut Hari Raya Idul Fitri. Masyarakat Indonesia memiliki tradisi dan budaya yang menarik dalam perayaan Idul Fitri ini, salah satunya yaitu halal bi halal.
Halal bi halal ini sudah lazim dilakukan baik di lingkungan desa, kantor ataupun instansi resmi pemerintah. Kegiatan ini biasanya diadakan selang beberapa hari setelah Idul Fitri, berupa kumpul bersama untuk bersilaturrahmi dan saling bermaaf-maafan satu sama lain.
Kendati halal bi halal sudah lazim dilakukan, banyak dari kita yang belum mengetahui secara pasti makna dan sejarah dari halal bi halal itu sendiri.

Sejarah Istilah “Halal Bi Halal”


Jika kita perhatikan, istilah “Halal Bi Halal” merupakan sebuah frase/kalimat yang mengandung kata-kata dalam Bahasa Arab, yaitu halal dan bi. Namun demikian, nyatanya frase halal bi halal tidak akan anda termukan dalam kamus bahasa Arab baik klasik atau modern, tidak pula anda temukan dalam percakapan sehari-hari bangsa Arab, karena memang istilah halal bi halal ini merupakan sebuah istilah unik made in Indonesia.
Sebagaimana dituturkan oleh KH Fuad Hasyim (alm) dari Buntet Cirebon, penggagas istilah halal bi halal ini adalah KH Abdul Wahab Hasbullah, seorang ulama besar Indonesia yang karismatik dan berpandangan modern, hidup pada masa penjajahan dan masa-masa awal Negara Indonesia.
Setelah Negara Indonesia merdeka pada tahun 1945, Indonesia menghadapi babak baru dalam menghadapi masalah pasca kemerdekaan. Pada tahun 1948 Indonesia dilanda gejala disintegrasi bangsa, di mana para elit politik saling bertengkar, sementara pemberontakan mulai terjadi di mana-mana.
Pada pertengahan bulan Ramadhan tahun 1948, Presiden Soekarno memanggil KH Wahab Hasbullah ke istana negara. Beliau dimintai saran agar Bung Karno dapat menyelesaikan situasi pelik dari politik di Indonesia saat itu. Kiai Wahab mengusulkan agar Bung Karno mengadakan acara silaturrahmi antar elit politik, karena sebentar lagi adalah hari raya Idul Fitri di mana umat islam disunnahkan untuk bersilaturrahmi.
“Silaturrahmi kan sudah biasa, saya ingin (istilah) yang lain.” Jawab Bung Karno.
Kiai Wahab lalu menjawab, “Itu gampang. Begini, para elit politik tidak mau bersatu itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa, dan dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahmi nanti kita pakai istilah 'halal bi halal'.”
Saran Kiai Wahab tersebut kemudian diamini oleh Bung Karno, sehingga pada Hari Raya Idul Fitri saat itu beliau mengundang semua tokoh elit politik untuk datang ke istana menghadiri acara silaturrahmi bertajuk halal bi halal. Dari situ kemudian para elit politik dapat kembali berkumpul dan duduk dalam satu meja untuk kembali menyusun kekuatan dan persatuan bangsa.
Sejak saat itu, instansi pemerintah secara khusus digerakkan oleh Bung Karno untuk mengadakan acara silaturrrahmi bertajuk halal bi halal yang diadakan jelang beberapa waktu setelah Idul Fitri. Halal bi halal tersebut lalu juga diikuti oleh masyarakat luas, di mana Bung Karno menggerakkan acara itu dari atas (instansi pemerintah), sementara Kiai Wahab bergerak dari bawah—masyarakat luas terutama muslim di Jawa.
Dari situ, jadilah halal bi halal sebagai sebuah kegiatan rutin masyarakat Indonesia setiap hari raya Idul Fitri seperti sekarang.

Makna Halal Bi Halal


Istilah halal bi halal yang dicetuskan oleh Kiai Wahab ini didasarkan pada dua analisis. Analisis pertama, yaitu thalabu halâl bi tharîqin halâl yang artinya mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan. Sementara analisis kedua yaitu halâl "yujza'u" bi halâl yang artinya pembebasan kesalahan dibalas pula dengan pembebasan kesalahan dengan cara saling memaafkan.
Dua analisis itulah yang sekiranya tepat untuk menjabarkan makna dari halal bi halal. Adapun secara umumnya, halal bi halal dapat diartikan menjadi saling memaafkan.
Namun lebih dari itu, halal bi halal bukan saja menuntut seseorang agar memaafkan orang lain, tetapi juga agar berbuat baik terhadap siapapun. Hal tersebut juga berarti bahwa hakikat yang dituju oleh acara halal bi halal tidak dibatasi waktunya seusai hari raya Idul Fitri, tetapi setiap saat serta menyangkut segala aktivitas manusia.

Referensi dan saran bacaan lebih lanjut:

Tentang Ucapan Selamat Hari Raya Idul Fitri Yang Benar

Tidak terasa bulan Ramadhan sudah hampir selesai, dan orang-orang pun mulai ramai mempersiapkan diri untuk menyambut Hari Raya Idul Fitri. 
Seiring hendak datangnya Idul Fitri ini, saya menerima beberapa broadcast dan melihat beberapa tulisan di forum yang cukup menggelitik, tentang Ucapan Selamat Hari Raya Idul Fitri Yang Benar.. Garis umum pembahasannya yaitu bahwa ucapan selamat idul yang benar adalah “taqabbalallhu minna waminkum”, sementara “minal aidin wal faizin” & mohon maaf lahir dan batin adalah ucapan yang salah kaprah. Salah satunya pembahasannya di forum Kaskus ini.

Sebenarnya hal seperti ini adalah bahasan lama, tapi tiap mau Idul Fitri selalu saja menjadi viral lagi, dan sepertinya banyak orang yang menerimanya begitu saja---membuat saya semakin tergelitik untuk membahasnya.

Di sini saya mau membahas itu, saya usahakan agar bahasannya menyeluruh dan tetap mudah dipahami...

1) Pada dasarnya, ucapan doa itu bebas


Kalo konteks ucapan doa (di luar ibadah mahdhah seperti sholat), tidak ada hadisnya pun dibenarkan. Doa mau ujian doktor, doa mau naik gaji, atau doa mengakhiri masa jomblo, boleh-boleh saja dengan redaksi apapun selama itu doa untuk kebaikan.

Dasarnya ini:
Ucapan selamat atau Tahniah atas datangnya momen tertentu telah menjadi suatu tradisi atau adat yang selalu berbeda-beda di tiap masyarakat. Sementara hukum asal atas suatu adat adalah boleh, selagi tidak ada dalil tertentu yang mengubah dari hukum asli ini. Mayoritas ulama menyatakan, ucapan selamat pada hari raya hukumnya adalah ibahah/boleh (lihat: al-Adab al-Syar'iyah, jilid 3, hal. 219).
Al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan, ucapan selamat (tahniah) secara umum diperbolehkan, karena adanya nikmat, atau terhindar dari suatu musibah, dianalogikan dengan validitas sujud syukur dan ta'ziyah (lihat al-Mausu'ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, jilid 14, hal 99-100).
Dari sini kita bisa menyimpulkan kalau ucapan Selamat Hari Raya Idul Fitri itu bebas, selama yang diucapkan itu (doa) isinya kebaikan:
- Taqabbalallhu minna wa minkum
- Minal aidin wal faizin
- Mohon maaf lahir dan batin
- Sugeng riyadi, nyuwun pangapunten saking sekatahipun kalepatan
- Selamat ya
- dll

2) Ucapan yang baik itu dicontohkan Rasulullah dan para Sahabat


Lalu, untuk lebih baiknya, ucapan doa yang kita keluarkan tersebut hendaknya dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabat. Dalam hal ucapan idul fitri ini, ucapan yang dicontohkan oleh para sahabat Rasulullah: “taqabbalalllahu minna wa minkum” (Semoga Allah menerima amalku dan amal kalian).
Ucapan tersebut merupakan kebiasaan di antara beberapa sahabat, di antaranya: Ibnu Umar dan Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma.
Maka dari itu, alangkah baiknya jika ucapan selamat yang kita ucapkan itu sebagaimana yang dicontohkan, “taqabbalalllahu minna wa minkum”. Tapi jangan berhenti di situ, kita kembali ke poin pertama tadi, sehingga bukan berarti doa dan ucapan lain yang baik itu tidak diperbolehkan.

3) Minal Aidin Wal Faizin, Mohon Maaf Lahir dan Batin


Ucapan itu yang paling sering kita dengar sebagai rakyat Indonesia Raya. Bagaimana sih artinya yang benar?
Minal Aidin Wal Faizin, secara tekstual artinya, “Semoga kita termasuk orang yang kembali dan menuai kemenangan”

Beberapa orang menyangsikan arti kalimat tersebut. Kembali terhadap apa? Menang terhadap apa? Apakah “kembali pada kemaksiatan pascaramadhan, meraih kemenangan atas bulan Ramadhan sehingga kita bisa kembali berbuat keburukan”?

Tentu saja tidak. Anak kecil pun tidak akan mau mengucapkan nya kalau maknanya seperti itu.

Makna popular & lengkap kalimat tersebut adalah “Ja'alanallahu wa iyyakum MINAL 'AIDIN ilal fithrah WAL FAIZIN bil jannah” (Semoga Allah menjadikan kita semua sebagai orang yang kembali pada fitrah dan menuai kemenangan dengan meraih surga).
Jadi jangan khawatir. Maknanya bukan kembali ke perbuatan maksiat dan menang telah menaklukkan Ramadhan. Adapun yang dimaksud dengan kembali pada fitrah adalah: Islam dan kesucian.

Ini dasarnya:
Apa makna fitrah? Setidaknya ia memiliki dua makna: Islam dan kesucian
Makna pertama diisyaratkan oleh hadits (artinya): "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikan dia (sebagai/seperti) Yahudi, Nasrani, atau Majusi."
Sisi pengambilan kesimpulan hukum atau wajh al-istidlal-nya, Nabi telah menyebutkan agama-agama besar kala itu, namun Nabi tidak menyebutkan Islam. Maka fitrah diartikan sebagai Islam.
Dengan ujaran lain, makna kembali ke fitrah adalah kembali ke Islam, kembali pada ajaran, akhlak, dan keluhuran budaya Islam.
Makna fitrah yang kedua adalah kesucian. Makna ini berdasarkan hadits Nabi (artinya), "Fitrah itu ada lima: khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kumis, mencabut/menghilangkan bulu ketiak, dan memotong kuku." (HR. Bukhari dan Muslim)
Kelima macam fitrah ini semuanya kembali pada praktik kebersihan dan kesucian. Dapat disimpulkan kemudian bahwa makna fitrah adalah bersih dan suci.
 So, adalah hal yang keliru jika ada orang yang mengatakan bahwa ucapan “Minal Aidin Wal Faizin” adalah hal yang salah kaprah..

Lalu, Mohon Maaf Lahir dan Batin.

Pertama di sini perlu kita tekankan, bahwa, memang benar Idul Fitri bukan waktu khusus untuk bermaaf-maafan. Namun demikian, tidak salah juga jika kita mohon maaf di waktu Idul Fitri kepada para saudara dan sahabat atas seluruh kesalahan kita kan? Toh, meminta maaf ini juga bisa membantu kita untuk meraih fitrah/kesucian yang kita harapkan setelah menjalani bulan Ramadhan.

“Mohon Maaf Lahir dan Batin” memang sering bersanding dengan “Minal Aidin Wal Faizin”, tapi bukan berarti kedua kalimat tersebut merupakan translate satu sama lain.
Memaknai Minal 'Aidin Wal Faizin' dengan 'Mohon Maaf Lahir Batin', hanya karena biasanya dua kalimat itu beriringan satu sama lain, itu sama saja dengan 'membahasa-Inggriskan' keset di depan pintu rumah makan dengan welcome, dengan alasan tulisan itu biasanya ada di atas keset.

Demikian itu tiga poin penting yang hendak saya sampaikan, semoga bermanfaat.

Lalu, sebagai penutup, bagaimana ucapan selamat idul fitri yang benar? Sekali lagi, ucapannya bebas terserah anda selama itu berisi pesan kebaikan. Dan akan lebih baik lagi jika dalam ucapan itu menyertakan pula ucapan yang dicontohkan Sahabat—tanpa menutup bahwa ucapan lain juga diperbolehkan.

Tapi menurut hemat saya (pribadi), karena di Indonesia sudah lazim menulis “Selamat Hari Raya Idul Firtri, Minal Aidin Wal Faizin, Mohon Maaf Lahir dan Batin”, ucapan itu kiranya sudah cukup untuk diucapkan.
Tapi kalau pengen yang lebih bagus lagi boleh-boleh saja. Guru saya di MA dulu malah panjang sekali ucapan Idul Fitrinya (kalau saya tidak salah ingat):
Ja'alanallahu Wa Iyyakum Minal Aidin Wal Faizin Wal Maqbulin, Kullu Amin Wa Antum Bikhoir…. Taqabbalallahu Minna Wa Minkum, Taqabbal Ya Karim..
(Semoga Allah menjadikan kami dan kalian semua termasuk dalam golongan orang yang kembali kepada fitrah dan menuai kemenangan dengan meraih surga serta diterima amal ibadah kita.. Semoga setiap tahun engkau sekalian semua dalam keadaan yang baik... Semoga Allah menerima amalku dan amal kalian semua, terimalah Ya Allah….)

Amin….

Semoga dengan pembahasan singkat dari saya ini dapat memberi pemahaman lebih utuh mengenai ucapan Selamat Hari Raya Idul Fitri...

Sumber (untuk bacaan lebih lanjut):
 

Kamis, 30 Juni 2016

Cara Mudah Konfigurasi Modem di Linux Mint

Sekedar sharing saja, di sini saya mau menjelaskan cara mudah untuk konfigurasi modem di Linux Mint tanpa perlu menginstall dan tanpa Mobile Partner. Modem yang saya gunakan saat ini yaitu Huawei dengan kartu Tri.
Sebelum berhasil dengan cara ini, saya sudah beberapa kali mencoba menginstal modem dengan terlebih dahulu menginstal software bawaan modem (Mobile Partner), yang sayangnya tidak bisa langsung saya instal seperti di OS Windows. Untuk hal itu, saya harus mendownload file Mobile Partnernya terlebih dahulu, baru kemudian menginstal sesuai petunjuk yang ada.
Singkat cerita, karena tidak begitu mengerti dengan petunjuk yang diberikan, perlu waktu cukup lama bagi saya sampai Mobile Partnernya terpasang dengan baik di laptop. Tetapi ketika hendak menghubungkan koneksi modem, ternyata modemnya tidak terdeteksi. Tiga kali saya mencoba (mengulangi proses dari awal dengan installer yang berbeda), tiga kali pula saya gagal.
Karena hal itu, saya sempat frustasi dan putus asa untuk tidak menggunakan modem tersebut.
Namun, saya mencoba menguatkan diri untuk mencobanya sekali lagi (dengan cara ngawur dan sekenanya). Hasilnya, justru saya berhasil melakukan konfigurasi modem dan dapat terhubung dengan baik ke internet. Alhamdulillah.

Berikut ini langkah yang saya lakukan:

1. Untuk lebih mudahnya, masuk ke desktop terlebih dahulu


 

2. Pilih ikon Network pada panel menu, dan pilih Network Settings

 


3. Kemudian muncul jendela baru Networking, pilih bagian Mobile Broadband 

 


4. Pilih Network, lalu add new connection (pastikan modem sudah terpasang)

 


5. Isikan data-data yang diperlukan, klik continue

 


6. Ketika sampai pada Choose Billing Plan, sesuaikan dengan mode internet yang akan dipakai

 

Di sini saya memakai provider tri, dengan APN 3gprs. Karena pada menu your plan pilihan tersebut belum ada, saya pilih my plan is not listed dan memasukkan kode 3gprs.
Lalu lanjutkan pengisian data sampai selesai.


7. Setelah selesai, modem pun dapat digunakan dengan memilih koneksi pada bagian Network di panel menu

 

 

Demikian, cara mudah konfigurasi modem di Linux Mint dari saya. 
Saya nggak tahu gimana jluntrung-nya kok cara tersebut dapat berfungsi dengan baik, karena saya ngasal dalam melakukannya. Tapi apapun itu, yang penting modem saya sudah dapat digunakan.
Bagaimana dengan modem anda? Berhasilkah dengan cara ini?

Rabu, 29 Juni 2016

Catatan Sedih Kelulusan SBMPTN


via shutterstock.com
Tidak lulus SBMPTN itu rasanya sedih,
Dan akan lebih sedih lagi jika ternyata teman-teman kamu lulus.
Pengumuman SBMPTN kemarin telah memberi kebahagiaan bagi sebagian siswa di Indonesia, dan memberi kesedihan mendalam bagi kebanyakan siswa lainnya.
Kebetulan kemarin Yono termasuk dalam sebagian siswa yang dibahagiakan oleh pengumuman SBMPTN, ia lulus seleksi. “Keberuntungan itu mungkin tidak pantas saya dapatkan, karena selama persiapan SBMPTN saya lebih banyak bermain-main daripada belajar,” ungkap Yono pada saya.
Menanggapi kebahagiaan yang membuncah itu, Yono berusaha menahan diri, bersikap wajar, dan tidak bocor kemana-mana mengenai kelulusan itu. Karena bagaimanapun juga, ia memahami bahwa di balik kebahagiaannya ada kesedihan dari teman-temannya yang tidak lulus.
Yono mulai memahami hal itu ketika pengumuman SNMPTN lalu. Ketika teman-temannya yang lulus SNMPTN mengungkapkan ekspresi kebahagiaan mereka di dunia maya—secara berlebihan, sedangkan Yono sendiri tidak lulus SNMPTN.
“Rasanya sedih banget, dan berubah menjadi sakit ketika mereka menambah-nambahi: Buat teman-teman yang tidak lulus, jangan putus asa. Tetap ada banyak jalan, dan Allah tahu yang terbaik untuk kita semua. Hati ini semakin mangkel, dan mulut ini pengen misuh,” kata Yono.
Yono benar, walaupun nasehat mereka bagus, namun momennya tidak tepat—dan itu membuat esensi dari nasehat tersebut berubah. Ketika mereka mengungkapkan: Alhamdulillah aku lulus, tinggal ngurus registrasi, ada banyak teman mereka yang dalam hati berbicara: Aduh, piye iki? Aku ora lulus. Kudu miker SBMPTN, sinau neh, mbayar. Aduh yo, yo.. 
Dari situ kemudian Yono belajar untuk menahan diri dan tidak mengungkapkan kebahagiaan kelulusan SBMPTN secara berlebihan—di dunia maya. Dan entah bagaimana bisa, teman-teman Yono yang lulus SBMPTN juga melakukan hal serupa. Mereka tidak mengungkapkan kebahagiaan mereka di dunia maya, mereka tetap bersikap wajar dan tidak berlebihan.
Mungkin mereka juga memahami itu, bahwa bukannya ikut bahagia, teman mereka yang tidak lulus justru akan semakin sedih jika teman yang lulus mengungkapkan kesenangan secara berlebihan.
Maka dari itu, kalau ternyata kamu lulus di SNMPTN atau SBMPTN, atau seleksi lainnya, jangan terlalu over dalam mengungkapkan kesenangan kamu di facebook
Njagani perasaan teman kamu yang tidak lulus,” pesan Yono.

*Adaptasi dari catatan satu tahun lalu

Balada Buka Puasa Bersama

Yono lamat-lamat menatap makanan di depannya. Nasi, sayur kangkung, dan beberapa gorengan pelengkap. Tak sabaran ia ingin segera menyantapnya, sudah seharian ia menahan rasa lapar di perutnya, puasa.
Konsentrasinya tertuju pada gorengan di depan: tahu bakso dan tempe mendowan. Sejak siang ia sudah memikirkannya, lupakan soal ujian semester yang harus dikerjakannya.
“Heh, sabar...” Suryo menepuk pundak Yono.
Yono terhenyak, kaget.
Raimu iku lho, kayak nggak pernah makan setahun aja. Laper ya?”
“Banget.” Yono menjawab singkat.
Dua menit lagi adzan maghrib. Konsentrasi Suryo mengarah ke tayangan tv di pojokan warteg, sementara Yono kembali mematung menatap tahu bakso dan tempe mendowan di depannya. 

...

Kelanjutannya download di sini.

Selasa, 28 Juni 2016

Kekhusyu'an Sebagai Fungsi Posisi

Mayoritas kita adalah orang-orang yang susah untuk mencapai kondisi khusyu' (dalam sholat atau lainnya). Ada sedikit gangguan saja, sholat kita sudah langsung ngawang-ngawang nggak jelas arahnya ke mana.
Maka dari itu, kita masih butuh bantuan pernak-pernik tambahan macam kipas angin, badan segar, baju bagus, lingkungan wangi dan sebagainya untuk bisa khusyu' dalam sholat—lha wong kalaupun kondisi-kondisi itu sudah terpenuhi, kita masih tetep sulit khusyu' kok.
Bagi saya yang susah khusyu' ini, faktor bantuan terpenting dalam mencapai kekhusyu'an adalah posisi: posisi saya dalam sholat berjamaah. Makanya, saya bilang kalo kekhusyu'an saya itu bergantung pada fungsi posisi. Kalau ditulis secara matematis jadinya:


Posisi yang bagaimana? Bukan posisi terdepan, bukan juga posisi paling belakang, walau tidak menutup kemungkinan posisi itu adalah solusinya.
Namun lebih dari itu, posisi ini berkaitan erat dengan sirkulasi udara (baik oleh kipas angin atau lainnya). Saya perlu mencari posisi strategis untuk mencapai aliran udara (dari kipas angin atau lainnya) yang paling efektif: tidak terlalu pelan dan tidak terlalu kencang.
Kalau terlalu pelan (atau malah nggak sama sekali) bisa dipastikan saya akan kegerahan, keringetan, badan lengket-lengket, yang akibatnya kekhusyu'an berkurang.
Begitu juga kalau terlalu kencang, selama sholat itu saya kedinginan, nggak fokus, dan pas sholat selesai saya malah masuk angin.
Kalau dibuat grafik kekhyusu'an sebagai fungsi sirkulasi udara jadinya:
Pembahasan mengenai kekhusyu'an sebagai fungsi posisi (yang selanjutnya menjadi fungsi sirkulasi udara) ini sangat krusial pada saat-saat Ramadhan seperti ini, terkhusus pada saat shalat tarawih berjamaah—yang waktunya lebih lama dibanding sholat lainnya.
Awal-awal Ramadhan pas saya masih di Semarang kemarin, saya ikut sholat tarawih berjamaah di Masjid Kyai Galang Sewu yang posisinya ada di samping kos. Dari pengalaman, saya menemukan kalau posisi ideal untuk sholat tarawih di situ adalah baris paling belakang. Alasannya sederhana, adem. Dan untuk mencapai posisi itu, saya harus pura-pura (dan sengaja) menerlambatkan diri untuk ke masjid biar dapet tempat belakang—terlepas dari fakta saya terlambat beneran.
Pernah suatu kali pas itu saya datang cukup awal, dan dapat tempat di tengah-tengah. Awal-awal sholat tarawih sih masih normal. Tapi begitu masuk rakaat ke-5 dan seterusnya, astaghfirullah, gerah banget—kipas angin tak mampu mengatasinya. Secara fisik saya sholat, tapi pikirannya mencari-cari aliran kipas angin. Daripada sholat tarawih ini jadi nggak bener, saya pun keluar dari barisan menuju tempat wudhu, untuk kembali sholat di barisan belakang. Alhamdulillah, adem.
Lain Semarang, lain rumah.
Sekarang, ketika sholat tarawih di desa saya—di masjid, barisan belakang tidak lagi menjadi posisi ideal untuk kenyamanan sholat saya. Di masjid ini, posisi paling nyaman itu ada di shaf ketiga nomor 1 sampai 4 dari kiri. Alasannya sama, adem, karena pada daerah itu kipasnya cukup stabil: tidak terlalu kencang tidak pula terlalu pelan. Karena kondisi yang seperti itu, saya pun agak ngotot untuk mendapatkannya. Kalau shaf depannya masih kosong, saya lebih memilih menghindar dulu—daripada harus mengisinya. Baru kalau keadaan mendukung, saya langsung jenggirat menuju tempat tersebut: shaf ketiga nomor 1 sampai 4 dari kiri.
Tapi..
Walau seluruh kondisi tadi sudah terpenuhi, nyatanya kok saya masih tetap nggak bisa khusyu' ya..
Ternyata memang kekhusyu'an bukan semata-mata dipengaruhi oleh posisi dan kipas angin. Kalau posisi dan kipas angin sudah pas, tapi orang di samping berbau kurang sedap, perut laper, mikirin film, kebelet pipis, imamnya lama, dan sejenisnya ya susah untuk khusyu'.
Contohnya saya ini, posisi sholat dan kipas angin sih udah pas, tapi kok pas sholat malah mikirin posting blog kayak gini…
Astaghfirullahal adzim
   

Senin, 27 Juni 2016

Masih Tentang SIA UNDIP

Dari sekian banyak tulisan saya di blog, tulisan yang paling banyak dibaca orang adalah tulisan mengenai SIA (Sistem Informasi Akademik) Undip. Tulisan itu saya buat semester satu lalu, ketika SIA sedang mengalami gangguan—bukan sekedar server down. Saya menulis sedikit tentang gangguan itu, lalu ada pula tips untuk membuka SIA dengan mudah, dan ada trik lain membuka SIA lewat web proxy Anonymouse FSM (Fakultas Sains dan Matematika).
Dan sekarang, ketika mahasiswa sedang aktif-aktifnya mengunjungi SIA—untuk melihat nilai dan mengisi Kartu Rencana Studi (KRS), lagi-lagi topik tentang SIA di blog saya mendapat kenaikan view.
Jan-jan e nggak banyak yang berkunjung ke blog saya, tapi ya itu tadi.. dari nggak banyak orang yang berkunjung itu kebanyakan (hanya) membaca tulisan tentang SIA. Hal itu diperkuat lagi dengan fakta daftar pencarian di google (beberapa waktu lalu) yang mengarah ke blog saya, yang hasilnya pun nggak jauh-jauh dari tema SIA Undip:




Sepertinya SIA Undip membawa kebaikan untuk blog ini, padahal waktu awal saya nulis tentang itu nggak ada sedikit pun pikiran kalau tulisan itu bakal dapet view tinggi.
Seberapa tinggi?


Sebenernya cuma seribuan sih.. tapi dibandingkan dengan tulisan-tulisan lain di blog saya yang cuma dapet 10 view (itupun saya yang buka), angka 1000 itu sangat besar. Sungguh.

***

Alhamdulillah, sampai saat ini web SIA Undip masih sehat wal afiat, dapat diakses dengan lancar dari luar kampus--walaupun yang mengakses banyak. Semoga saja SIA Undip bisa terus sehat sampai ke depannya. Amin.

Sabtu, 25 Juni 2016

Satelit Indonesia dan Komentatornya


Sepertinya bulan Ramadhan kali ini membawa banyak berkah untuk Indonesia. Bagaimana tidak, baru pada Ramadhan kali ini tidak lagi ada acara lawak yang selalu menemani kala sahur dan berbuka, sejalan dengan tidak adanya acara ceramah di pagi, siang dan malam—di tv saya. Ramadhan kali ini tv saya lebih sering mati, sejurus karena saya sudah melek teknologi dan aktif berinternet hampir setahun ini.
Menurut saya, internet menawarkan hiburan yang lebih variatif dibanding tv, ya, walaupun nggak variatif-variatif amat. Toh saat ini internet yang digadang-gadang sebagai wadah citizen journalism masih menunjukkan gelagat kalau ia hanya perpanjangan tangan dari media konvensional yang menyetir arah perbincangan.
Tapi sungguh, saya beruntung karena dengan internet jadi tau kalau di bulan Ramadhan ini ada kabar baik yang sudah saya nanti-nantikan, Indonesia menerbangkan satelit (lagi).
Ada dua satelit Indonesia yang baru saja mengangkasa: BRIsat dan LAPAN A-3.
Tapi eh tapi… dalam dunia modern sekarang, menerbangkan satelit itu udah nggak wah lagi, udah biasa. Lha wong sekarang saja udah perusahaan komersil ruang angkasa macam SpaceX dan Blue Origin yang siap sedia meluncurkan satelit pake roket mereka kok... Kalo duitnya cukup, wush, satelit itu bakal terbang mengangkasa.
Terus apa yang bisa dibanggakan dari penerbangan satelit kali ini? Kalo dari penerbangannya, dengan berat hati sebenarnya belum banyak. BRIsat meluncur numpang roket Ariane 5 di Pelabuhan Angkasa Eropa, sementara LAPAN A-3 meluncur dengan nebeng roket milik India bersama 20 satelit lainnya.
Untungnya urusan satelit itu nggak cuma sesederhana nerban-nerbangin tok. BRIsat misalnya, satelit milik bank yang ada kata Rakyat-nya ini walaupun dibuat oleh Eropa, seenggaknya dia jadi satelit pertama di dunia yang dimiliki oleh institusi keuangan. Keren? Katakanlah begitu.
Terkhusus untuk LAPAN A-3, saya bangga, karena satelit ini dibuat di Bogor. LAPAN A-3 (setelah A-1 dan A-2) ini dibuat atas kerjasama LAPAN dengan IPB. Asal anda tahu ya, buat satelit itu nggak nggak gampang. Nggak perlu saya sebutin teknis-teknis satelit biar kelihatan susah, kan? Oke.
Sekali lagi saya bersyukur karena udah kenal internet, bisa liat peluncuran satelit itu kayak di film-film (belum liat full tapi), walaupun sebenernya saya lebih pengen nonton peluncuran itu di tv. Bagi saya, sensasi nonton tv belum bisa tergantikan oleh nonton video di laptop/hp lewat internet. Tapi kok kayak e nggak ada kabar penyiarannya di tv ya? Apa sebenernya ada tapi saya nggak tau, karena udah jarang nonton tv? Mbuh lah.
Tapi ada satu hal...
Sebagaimana lazimnya internet, selalu tersedia kolom komentar yang membuat sebuah berita menjadi lebih menarik (komentarnya yang menarik), tak terkecuali berita peluncuran satelit ini.
"Loh itu beneran satelit Indonesia, min? Kok tulisan di satelitnya INDIA?" Ada si pembaca judul dan pelihat gambar hebat yang merasa tak perlu membaca isi berita.
"Iya, min, kok tulisannya India?" Ada pula si pembaca komentar, yang tak perlu membaca judul bahkan gambar berita—apalagi isinya.
"Kenapa nggak diterbangin dari Indonesia?" Ada si kritis yang sayangnya malas baca.
"Kapan Indonesia punya roket sendiri?" Ada si kritis yang salah fokus berita.
"Gapapa satelit dulu, itu udah keren. Fokus sama rakyat miskin aja dulu gausah banyak gaya. Toh hutang negara belum selesai juga." Ada pula si bijak yang menengahi perang di kolom komentar.

*** bubar2 

Jumat, 24 Juni 2016

Membersihkan Buku Tak Terpakai dan Rasa "Eman" Bersamanya

Hari ini saya (dan Pae) membersihkan buku-buku tak terpakai yang telah begitu banyak memenuhi lemari dan ruang kamar tidur. Buku-buku itu adalah akumulasi sejak zaman bapak, mbak, mas, dan akhirnya saya—bisa dibayangkan betapa banyaknya. Sebenarnya tidak semua adalah buku, ada juga kertas-kertas dokumen, fotocopy soal, dan sejenisnya—apapun itu, ia sudah tak terpakai.
Ada setitik rasa eman saat hendak membersihkan buku-buku itu, suatu saat akan berguna, pikir saya. Tapi mosok yo, kanggo? Pikir sisi lain saya.
Dari sekian banyak buku yang ada, dominasi utamanya adalah buku pelajaran, mulai dari SD sampai tingkat SMA. Untuk buku jenis ini, ia memang tak banyak berguna, apalagi kan sekarang kurikulumnya sudah ganti, otomatis buku acuan(pelajaran)nya pun baru lagi—membuat buku-buku ini tidak memiliki banyak nilai praktis. Namun tidak semua buku pelajaran ini saya bersihkan, ada beberapa buku yang sengaja saya simpan karena saya mengenal betul buku itu dan mengetahui manfaat praktisnya (bagi saya), terutama jenis buku pelajaran sains yang banyak membantu saya (artinya, buku itu memang benar-benar bagus dari segi penjabaran dan sejenisnya).
Selain buku pelajaran, ada juga buku tulis. Sama seperti buku pelajaran, buku tulis ini juga akumulasi sejak zamannya mbak, mas, sampai punya saya, dan lagi-lagi ada setitik rasa eman ketika hendak membersihkan buku-buku tulis ini. Ini kan bisa jadi kenang-kenangan, pikir saya.
Namun memang, kayaknya buku-buku tulis ini kok tidak banyak punya nilai praktis kecuali untuk sekedar kenangan (ah apalah itu), dan kayaknya juga nggak ada tanda-tanda kalau buku itu akan saya buka lagi suatu saat nanti. Jadinya buku tulis ini saya bersihkan, kecuali beberapa. Beberapa yang tidak saya bersihkan, sama seperti buku pelajaran tadi, karena beberapa buku tulis (terutama buku tulis pas MA) ada yang saya khususkan dari yang lain: ia tak sekedar buku catatan pelajaran, tapi lebih dari itu ia adalah catatan keseharian dan nilai-nilai (value).
Selanjutnya ada juga banyak jenis buku kitab kuning (buku berbahasa arab, biasanya kertasnya kuning, mayoritas isinya tentang keagamaan, digunakan sebagai acuan pembelajaran di pesantren). Untuk buku jenis ini, kami tak merasa perlu untuk membersihkannya—justru menyimpannya. Kenapa? Nah ini yang aneh, jan-jan e kitab kuning itu yo sama saja kayak buku lainnya kok, cuman ia berbahasa arab (itu aja).
Kalau buku pelajaran kan gonta-ganti sesuai kurikulum, kalau kitab kuning itu nggak, salah satu penjelasan kenapa kitab kuning tidak kami bersihkan. Selain itu, kitab kuning itu punya sentuhan dan kesan unik yang membuat kami merasa perlu menyimpannya—walaupun tidak dibaca (mungkin dibaca suatu saat nanti). Kalau buku-buku pelajaran, normalnya seiring bergantinya tahun buku-buku baru yang sejenis akan muncul dan kualitasnya semakin bagus (akses pembeliannya pun mudah), sedangkan kalau kitab kuning—terutama ini jenis kitabnya kan membahas hal-hal dasar—jadinya tidak ada perubahan (kecuali sekedar perbaikan cetakan dan sejenisnya). Toh jumlah kitab kuning ini tidak banyak kok, itu yang menjadi alasan paling masuk akal untuk menyimpannya.

***

Kenapa merasa eman saat hendak membersihkan buku-buku itu (lalu mengelompokkan dan mengikatnya, untuk kemudian dijual)?
Hal yang paling utama adalah saya merasa butuh. Tapi rasa butuh itu hanya sekedar rasa-rasaan aja, bukan butuh beneran. Karena, kalau memang saya butuh beneran, seharusnya saya berinteraksi dengan buku-buku itu (rutin atau setidaknya beberapa kali). Kenyataannya, dari seluruh buku yang hendak dibersihkan, saya tidak pernah berinteraksi lagi pada kira-kira 95% buku itu. Baru ingin berinteraksi ketika buku-buku hendak hilang, lha kan lucu. Itu artinya saya nggak bener-bener butuh.
Hal itu serupa dengan hal yang sering dilakukan oleh para peminjam buku (yang sayangnya malas membacanya—termasuk saya). Ketika seseorang hendak meminjam buku, entah ke teman atau perpustakaan, ia dalam keadaan tertarik, yang kemudian diartikan sebagai rasa butuh-nya kepada buku itu (lalu meminjam). Nah, ke-butuh-an terhadap buku itu dapat dicek benar atau semunya dari interaksi terhadap buku itu setelah dipinjam: buku itu dibaca atau tidak? Karena banyak dari proses peminjaman buku hanya terdiri dari pergi dan kembali (untung masih bisa kembali).
Saya salah satunya, yang pernah beberapa kali meminjam buku (karena merasa butuh), tapi kemudian tidak membacanya. Buku itu hanya saya baca sebentar setelah peminjaman, lalu berhari-hari buku itu terbengkalai begitu saja. Beberapa kali ingin membacanya, tapi kok yo ora kesampaian. Baru ketika batas waktu peminjaman hampir habis—atau bahkan lewat waktunya, saya gelagapan ingin membacanya lagi. Yang demikian itu saya namakan kebutuhan semu.
Dan ternyata yang saya rasakan terhadap buku-buku ini, yang barusan saya bersihkan, adalah kebutuhan semu. Ah sudahlah.
Ini gambar yang saya ambil setelah buku-buku itu selesai dibersihkan:


Tinggal menunggu tukang rosok (pengepul barang rongsokan) untuk mengambil dan menukarnya dengan uang ribuan setiap kilogramnya. Ini bukan tentang menjual buku-buku itu, tapi terima kasih karena tukang rosok mau mengambil (otomatis membersihkan ruang saya) dan mungkin mendaurnya menjadi hal yang bermanfaat lainnya—daripada tidak saya apa-apakan.

Rabu, 15 Juni 2016

Catatan Ujian Open Book


Ujian, dalam artian sempit sebagai Ujian Tengah atau Akhir Semester, memiliki dua garis besar: ujian close book (yang sudah wajar) dan ujian open book (yang sebenarnya juga wajar). Dua garis besar tersebut kemudian diikuti oleh dua garis besar reaksi peserta ujian:
1. Reaksi terhadap ujian close book
Ujian jenis ini relatif lebih sering dilakukan di jenjang pendidikan dasar, menengah, sampai tinggi. Menanggapi ujian jenis ini, kita semua tahu reaksinya, rata-rata peserta akan mati-matian belajar sehari sebelum ujian karena besoknya ia harus menyelesaikan soal yang membutuhkan pemahaman belajarnya sebelumnya. Itu sudah biasa, dengan catatan jangan cuma belajar sehari sebelum ujian saja.
2. Reaksi terhadap ujian open book
Dibanding ujian close book, ujian open book relatif lebih jarang dilakukan, dan biasanya ini ditujukan untuk menguji pelajaran yang terbilang banyak materinya, dan tidak memungkinkan (tidak terlalu penting juga) untuk dihafalkan---tapi ya nggak mesti.
Ketika mengetahui bahwa ujian yang akan dilakukan berjenis open book, rata-rata peserta ujian akan bersuka cita, pasalnya mereka tidak perlu mati-matian belajar sehari (atau semalam) sebelum ujian karena besok bisa buka buku untuk menjawab soal.
Namun, sesederhana itukah?
Sayangnya tidak.
Kenyataannya, bahkan ketika ujian yang dilakukan berjenis open book, para peserta kerap kesulitan menjawab soal. Alasannya jelas: mereka terlalu menganggap enteng dan mengandalkan buku---padahal ia belum pernah membaca bukunya sekalipun. Maka dari itu, walaupun soal yang diujikan (seluruhnya) ada di buku, mereka tetap kesulitan menjawab karena tidak tahu bagian tepat di buku yang sesuai pertanyaan.
Nah!

Selasa, 14 Juni 2016

Rendezvous Ayam Semut Kota Lama


Sebenarnya ini adalah salah satu lanjutan seri Petualangan Wahyono yang dulu rencananya ingin saya lanjutkan. 
"Rendezvous Ayam Semut Kota Lama" adalah cerita yang saya buat dan saya ikutkan ke Lomba Cerpen Kisah-Kisah Kota Lama Semarang sekitar sebulan lalu. Ya... walaupun hasilnya, masih perlu banyak belajar.
Setelah pengiriman itu, cerpennya jadi tak terurus: buat cerpen, baca, kirim, udah--langsung terabaikan. Baru ini tadi, pas saya bersih-bersih kamar, nggak sengaja nemu print out naskah cerpen itu dan saya baca kembali sekilas. Ternyata cukup menarik, terlepas dari fakta bahwa jalan ceritanya yang terlalu dipaksakan dan ancangan yang masih goyah--itu yang secara tidak langsung dikatakan oleh pihak Dewan Juri tentang catatan penjurian lomba cerpen tersebut. "Ada juga yang mencoba menghadirkan kisah futuristik yang mengandaikan Kota Lama puluhan tahun di muka, tapi ancangannya masih goyah." Kata dewan juri. Karena kebanyakan cerpen (sebanyak 505 naskah) yang masuk ke panitia mengambil latar waktu masa sekarang atau flash back ke zaman dahulu, sementara saya menghadirkan latar kisah futuristik, sepertinya kalimat juri itu ditujukan buat saya (hihi).
Seperti yang saya bilang tadi, setelah saya baca-baca lagi ternyata cerpen "Rendezvous Ayam Semut Kota Lama" saya ini cukup menarik (setidaknya bagi saya), maka ini mau saya upload biar anda-anda semua bisa ikut membacanya.
Catatan: ini cerpennya terbilang cukup panjang lho ya.. karena memang syarat lombanya minimal 5000 kata, dan ini saya buatnya nyampe 6000an kata. Kalo cerpennya ditaruh di kertas A4 dengan spasi 1.5, cerpennya nyampe 22 halaman.

Download filenya di sini

Selasa, 07 Juni 2016

Penyelesaian Persamaan Diferensial


Persamaan diferensial itu njlimet!
Pernyataan tersebut bisa jadi benar, tapi bisa jadi salah. Ke-njlimet-an persamaan diferensial mungkin terjadi karena kita tidak membaca dengan benar apa yang seharusnya dipelajari--melihat sekilas ke susunan abstrak huruf dan angka--untuk kemudian mengatakan: Ah, aku tidak paham.
Padahal, jika diikuti dengan sistematis dan runut, persamaan diferensial dapat dipahami (walaupun tidak mudah).
Ada yang lebih susah daripada memahami teori penyelesaian persamaan diferensial, yaitu menyelesaikan persamaan itu sendiri. Selain penyelesaian yang panjang.... persamaan diferensial seringkali menyuguhkan nilai rumit, itu yang semakin membuat malas untuk mengerjakannya.
Maka dari itu, menurut saya tidak terlalu penting untuk dapat menyelesaikan persamaan diferensial secara manual (apalagi dengan menghafalkan cara-caranya), yang lebih penting adalah memahami dengan benar konsep dasar dalam persamaan diferensial itu sendiri. Karena toh, sekarang sudah ada banyak software yang dapat menyelesaikan persamaan diferensial hanya dalam hitungan detik kok.
Salah satunya yaitu Wolfram Alpha. Nah, saya suka menggunakannya untuk menyelesaikan persamaan diferensial. Juga dalam hal ini PR Matematika Dasar dari Pak Djuwandi tentang persamaan diferensial, dengan bantuan Wolfram Alpha, penyelesaiannya menjadi lebih mudah, karena saya langsung tau hasilnya (dan minimal dikasih tau jenis persamaan diferensialnya--kalau jadi member pro malah dikasih tau step by step-nya). 

Ah sudahlah, ceritanya cukup.

Berikut ini saya lampirkan pembahasan penyelesaian PR Matematika Dasar Pak Djuwandi dari saya, mungkin masih ada banyak kesalahan, tapi semoga bermanfaat.

 

Download pembahasannya di sini.

Sabtu, 28 Mei 2016

Majalah Bagus

Pulang dari Jakarta kemarin saya naik kereta Sembrani.
Tak banyak beda dengan kereta-kereta yang sebelumnya pernah saya naiki, kecuali satu hal: majalah. Di depan kursi masing-masing penumpang ada sebuah majalah berjudul Rel: On Train Magazine
Secara penampilan luar, majalah ini terbilang sudah lecek:

Karena gambar pembuka yang cukup menarik, saya lalu melanjutkan membaca (melihat-lihat) isi majalah tersebut:



Isinya sangat menarik.
Terlebih lagi gaya topografi dan fotografi yang begitu profesional (menurut saya).
Melihat majalah itu, rasa-rasanya kok saya pengen buat majalah serupa (kualitasnya) tentang dunia fisika sederhana... Hmm...

Jumat, 27 Mei 2016

Empat Batu Loncatan


Dalam bulan Mei 2016 ini, setidaknya saya mendapatkan empat batu loncatan--biasanya orang-orang menyebutnya sebagai kegagalan.

 

Pertama, Esai Excellent 


Ajang Excellent (Extraordinary Psychology National Moslem Competition) ini diadakan oleh Jurusan Psikologi Undip. Esai yang dilombakan dalam ajang ini bertema "Ramadhan for Positive Soul", dan saya mengirim sebuah esai dengan judul yang sangat panjang: Puasa Ramadhan, Medan Latihan Membentuk Jiwa Positif Untuk Melawan Pragmatisme Dunia.
Dalam ingatan saya, kira-kira saya membuatnya dalam rentang waktu satu bulan. Tentu saja bukan satu bulan full saya nulis esai 6 halaman itu, tetapi satu bulan itu merupakan rentang part-time saya dalam penulisan awal, stuck, pencarian ide, revisi, males-malesan, revisi, sampai saya mengirim naskah esai tersebut.
Setelah pengumuman juara, esai saya tidak termasuk di dalamnya--saya dapat batu loncatan.

Kedua, Esai Festival Sastra UGM


Kompetisi esai ini bertemakan "Budaya, Sastra, Bahasa". Lomba esai ini saya ikuti karena satu hal: pesertanya sedikit--saya mengetahuinya dari teman saya yang sebulan sebelum deadline esai memperlihatkan jumlah peserta lomba. Esai baru diikuti 3 orang. Kesempatan bagus, pikir saya.
Kendati demikian, selang waktu sebulan itu tidak sedikitpun saya gunakan untuk membuat esai. Baru sehari sebelum deadline, saya membuatnya--pantas saja kalah. Esai yang saya buat berjudul "Bias Budaya Bahasa Sastra di Seloroh Zaman Gadget".
Setelah melihat juara kompetisi esai tersebut, ternyata semuanya bukan peserta yang dulu pernah saya lihat (pas masih 3 orang). Itu artinya, sebulan sebelum deadline itu memang belum banyak yang mengirim naskah, baru setelah mendekati deadline banyak peserta yang mengirim naskah esai.
Setelah pengumuman juara, esai saya tidak termasuk di dalamnya--saya dapat batu loncatan lagi.

Ketiga, Cerpen "Kisah-Kisah Kota Lama Semarang"


Kompetisi cerpen ini diselenggarakan oleh Forum Wartawan Balai Kota (Forwakot) Semarang, Hyteria, dan Badan Pengelola Kawasan Kota Lama (BPK2L). Sebagaimana judul kompetisinya, kompetisi cerpen ini mengharuskan peserta membuat tema dan latar ceritanya tentang Kawasan Kota Lama Semarang.
Dalam pembuatan cerpen ini, saya membutuhkan waktu selama hampir 2 bulan--tentunya dengan rincian seperti pada pembuatan esai Excellent awal tadi. Khusus untuk cerpen ini, saya juga melakukan survei lokasi ke Kota Lama, agar cerpen saya bisa semakin hidup.
Setelah melewati beberapa proses revisi, akhirnya saya mengirimkan naskah cerpen saya yang berjudul "Rendezvous Ayam Semut Kota Lama" mendekati deadline pengumpulan naskah.
Setelah pengumuman juara, cerpen saya lagi-lagi tidak termasuk di dalamnya--saya dapat batu loncatan yang ketiga. Tentunya bukan hal yang aneh kalau saya kalah dalam ajang cerpen ini, karena dalam tahap akhir pengumpulan naskah, terdapat sebanyak 505 naskah cerpen yang masuk ke panitia, dan banyak di antara 505 cerpen itu yang ditulis oleh cerpenis profesional.

Keempat, ONMIPA-PT Bidang Fisika


Olimpiade Nasional Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Perguruan Tinggi (ONMIPA-PT) merupakan sebuah ajang olimpiade seluruh mahasiswa di Indonesia dalam hal kemampuan teoritis dalam bidang ilmu MIPA.
Kebetulan saya lolos seleksi tingkat Universitas, lalu seleksi wilayah Kopertis 6 (yang ini saya benar-benar nggak nyangka--saya tidak bisa mengerjakan soal tapi malah lolos seleksi). Selanjutnya saya mewakili Kopertis 6 untuk maju di ONMIPA nasional dalam bidang Fisika.
Selama selang pengumuman lolos nasional dan waktu perlombaan saya tidak banyak persiapan--lebih banyak malas-malasan.
So, pantas saja kalau pada akhirnya saya tidak bisa mendapatkan juara dalam ajang ini.
Ketika hendak pengumuman juara ONMIPA, saya sudah memikirkan skenario paling bejo (beruntung) untuk saya. Saya hitung jumlah peserta bidang Fisika dari ITB, UI dan UGM, ternyata total delegasi dari ketiga univ tersebut ada 19 orang. Sementara itu, kebetulan jumlah juaranya ada 20. Kesimpulannya, masih ada kemungkinan kalau saya bisa dapet juara ke 20 (dari 64 orang) hehe..
Tapi... ternyata eh ternyata. Ketika disebutkan juara dari urutan ke 20 sampai 16 (honorable mention) nama saya tidak ada. Ditambah lagi disebutkan pula salah satu juara dari univ selain ITB-UI-UGM, ya sudah berarti saya tidak bisa dapat juara dalam ajang ini--kesimpulan saya sebelum pengumuman juara berakhir, yang ternyata benar. Itulah batu lompatan keempat saya.

>>>

Keempat batu tersebut membutikan kalau kemampuan saya ternyata masih jauh dari standar--padahal saya mengiranya sudah baik. So, baiklah, ternyata masih banyak yang harus diperbaiki, dan sekarang saatnya melompat lebih tinggi dengan empat batu loncatan itu.

Rabu, 18 Mei 2016

Tersesat Di Gunung Jati


Baiklah, ini lanjutan cerita kemarin di Salatiga. Pasti para pembaca sudah menanti cerita ini.

Di hari kedua live in, kelompok di rumah saya bermaksud untuk ikut Pak Marman untuk pergi mengambil rumput di gunung. Maka berangkatlah kami ke gunung, tetapi tertinggal karena saya sholat dan ke kamar mandi dulu. Karena berangkat terlambat itu, saya (juga Alfian dan Mahen) tidak jadi membantu Pak Marman mengambil rumput, tapi cuma jalan naik gunung, Gunung Jati.
Sebelum berjalan jauh, kami mengajak teman-teman rumah sebelah (rumah perempuan) untuk ikut jalan ke gunung. Yang semula bertiga menjadi bersepuluh—termasuk Rosyid, anak kecil rumah sebelah yang sudah sering ke gunung sebagai tour guide dalam perjalanan ini.
Kami naik, perlahan-lahan menapaki jalan setapak, beberapa kali naik tanjakan tajam dan juga jalan licin. Sampai di pertengahan jalan, seleksi alam terjadi, membuat sepuluh orang berubah menjadi lima orang: aku, Alfian, Mahen, Triana, dan Rosyid, sedangkan yang lain lebih memilih pulang.
Dari puncak gunung, empat orang teman yang tinggal di rumah Pak Marman sudah sampai atas, memanggil-manggil untuk ikut naik ke atas gunung.
Untuk lebih jelasnya, ini saya kasih skema gunung yang kami lalui: terdiri dari pemukiman, hutan, kebun dan puncak gunung:

Singkat cerita, kami berlima berjalan naik sampai ke puncak gunung.
Ini pemandangan dari atas gunung: 
 

 

Kalian melihat semacam awan yang turun ke bawah?
Nah, itu adalah hujan.

Demi melihat hujan itu, kita hendak langsung turun ke gunung.. tapi urung karena pemandangan yang indah, belum pada foto-foto, dan yang pasti hujan itu masih cukup jauh—walaupun bergerak perlahan ke arah kita.
Ini tak kasih satu hasil foto:


Setelah berlama-lama foto, akhirnya rintik gerimis turun. Wah! Kita turun.
Karena adanya rintikan hujan, kita berlari cepat turun ke bawah. Aku yang nggak kuat lari cepat tentu saja ketinggalan, dan lebih memilih jalan santai—tak masalah kalau kehujanan.
Enam orang sudah berjalan cepat sampai kebun—tidak jauh lagi dari Dusun, sementara itu empat masih di belakang, dengan urutan Alfian, aku, Mahen-Triana.
Aku dan Alfian berjalan meninggalkan Mahen dan Triana di belakang, berusaha cepat—walau nggak cepat-cepat amat.
Aku di depan Alfian, mengambil inisiatif jalan, berbelok ke kiri.
Berjalan semakin cepat karena hujan semakin lebat.
Eh.. Eh kok nggak sampai-sampai? Bukannya seharusnya sudah dekat?
“Kayaknya kita salah jalan deh, rul.. harusnya ini tadi ke kanan dulu, baru nanti ke kiri.”
“Oh gitu? Yaudah kita balik lagi aja, belok ke kanan dulu.”
Ternyata jalan yang aku ambil tadi salah, hehe. Kita berdua kembali ke tempat yang benar, lalu berbelok ke kanan.
Hujannya sudah benar-benar lebat. Kita berdua lari, Alfian di depan. Aku juga berusaha lari, tapi kondisi perut yang sedang suduken membuatku kesulitan, belum lagi aku kesandung kecil, yang membuatku tertinggal dari Alfian.
Ah, yaudah lah, aku juga udah tau jalannya kok.. jalan biasa aja.
Aku berjalan pelan saja, membiarkan tubuh terbasahi oleh hujan deras—kapan lagi bisa hujan-hujanan?

Sayangnya aku tidak benar-benar tahu jalan pulang.

Setahuku, seharusnya posisiku sudah tidak jauh lagi dari rumah di Dusun, tetapi ini kok malah nggak sampai-sampai ya… yang terlihat hanya pohon-pohon di hutan yang semakin lebat.
Apa aku salah jalan?
Ah enggak ah, bener lewat jalan ini. Aku memantapkan hati, berjalan biasa.
Sampai akhirnya aku benar-benar sadar kalau aku salah jalan. Jalanan hutan sudah tidak jelas lagi, pohon-pohon seakan tidak ada habisnya. Sebelum aku semakin jauh, aku kembali ke posisi sebelumnya, jalan yang tadi aku masih sama Alfian.
Dalam hati sebenarnya aku mulai sedikit takut… Tersesat di hutan? Yang benar saja.
Namun dengan kondisi tersesat ini aku berusaha berpikir sehat..
Ah, ini masih jam 3 an kok, masih lama sampai nanti malam, pasti nanti bisa ketemu jalan pulang. Oh iya, tadi Mahen dan Triana kan juga di belakangku, siapa tahu nanti ketemu.
Karena Mahen dan Triana tidak lewat-lewat juga, aku mengambil inisiatif kembali naik ke arah kebun dan gunung. Posisi di kebun lebih aman karena terbuka dengan langit, tidak seperti pas di hutan tadi—kemana-mana yang ada pohon tinggi, di sini kondisi mentalku lebih baik.
Aku mencoba melongok, mencari-cari warga yang sedang di kebun, mereka bisa menunjukkan jalan. Tapi percuma, karena sudah tidak ada orang di kebun. Tidak ada pula tanda-tanda Mahen dan Triana yang menurut perhitunganku masih turun dari gunung—dan terlihat dari kebun ini.
Aku memanggil Mahen satu kali.
Sayangnya tak ada jawaban, itu berarti Mahen dan Triana sudah turun dan sampai ke pemukiman saat aku tadi salah jalan sendirian.
Astaghfirullahal adzim...
Aku mulai panik. Bagaimana ini?
Sempat terpikir pula di kepala ini, masak aku nggak bisa keluar dari hutan ini? Aku segera membuang pikiran-pikiran buruk, tiada guna memikirkan kemungkinan buruk untuk saat ini.
Aku termenung di hujan, berdoa dalam hati semoga segera bisa pulang. Mungkin saja ada warga yang lewat, atau mungkin teman yang sudah sampai di rumah sadar kalau aku tersesat dan menyusulku ke sini.
A'udzu bikalimatillahit tammati min syarri ma khalaq
A'udzu bikalimatillahit tammati min syarri ma khalaq
A'udzu bikalimatillahit tammati min syarri ma khalaq
Aku mengucapnya berulang kali, berdoa. Ibuku pernah berpesan untuk membca doa tersebut ketika saat-saat genting. Bismillahirahmanirrahim.. ya allah tolong aku, kondisi yang semakin tegang ini membuatku cukup kacau, untuk kemudian mengucap doa apapun yang terpintas di kepalaku.
Baiklah, aku memutuskan turun kembali, melalui hutan untuk menuju rumah.
Lamat-lamat aku berjalan sambil berdoa, sampai akhirnya sampai di batas jalan benar yang aku ingat. Berpikir dengan segala kemungkinan, ini ke kanan atau ke kiri?
Aku berusaha berpikir waras, mengamati kedua jalan untuk mencari jalan yang lebih lebar—karena yang lebih lebar berarti lebih sering dilewati. Sayangnya gagal, kedua jalan itu tidak jauh beda.
Pakai apa lagi? Mata angin?
Aku mengingat-ingat arah mata angin ke arah pemukiman. Lalu memikirkan cara mengetahui arah mata angin tersebut. Dengan lumut? Aku ingat cerita temanku pecinta alam yang menggunakan lumut untuk mengetahui arah mata angin.. Kalau tidak salah lumut akan tumbuh menghadap ke Barat. Tapi.. Akh!!… Aku bingung.

“Irul….!!!”

Aku menoleh karena teriakan itu, mulai sumringah.

“Irul….!!!”

Aku berdiri, lalu menjawab keras.. “Wooi… Aku di sini..”
Aku lalu berjalan berbelok ke kiri, menghampiri Alfian dan Mahen yang hujan-hujanan mencariku. Alhamdulillah…
Singkat cerita aku sudah dapat bantuan dan dapat kembali ke rumah dengan mudah.
Asal kalian tahu saja, jarak antara tempatku barusan (jalan benar yang aku tahu) dengan rumah itu sama sekali tidak jauh, sekitar 500 m. Salahnya, tadi aku mengambil jalan belok ke kanan, sementara yang benar adalah ke kiri. Akhirnya aku bisa dengan mudah sampai ke rumah.
Sampai di dusun, beberapa teman berseru… “Irul ketemu.”
Alhamdulillah, aku tersenyum…

>>> Aku menghitung-hitung berapa lama waktu aku tersesat. Perjalanan dari rumah ke gunung sekitar 30 menit, foto-foto di puncak gunung hampir 20 menit, pulang ke rumah lagi 30 menit, ditambah waktu tersesat. Kami berangkat pukul setengah tiga, dan aku sampai di rumah pukul empat lebih sedikit. Artinya, aku tersesat sekitar 15 menitan… bukan waktu yang lama, tapi itu lho sensasinya… tersesat di hutan? Ah...

Pelajarannya:
- Kalau nggak tahu jalan jangan pura-pura tahu
- Kalau nggak tahu jalan, ikut temennya yang udah tau jalan

*oh iya, satu catatan: jangan dikira Gunung Jati ini setinggi gunung Merbabu dll, kalau kalian melihatnya langsung, sebenarnya ini lebih patut disebut bukit

Senin, 16 Mei 2016

Fisika Peduli: Jumat Sabtu Minggu Tidak Bisa Dihubungi

Ada pengalaman menarik selama tiga hari Jumat Sabtu Minggu (13 – 15 Mei 2016) kemarin. Himpunan Mahasiswa Fisika mengadakan acara bertajuk “Fisika Peduli” yang merupakan serangkaian kegiatan pengabdian diri kepada masyarakat. Dab kebetulan, saya termasuk dalam panitianya.
Kegiatan tersebut dilakukan di Dusun Randusari Desa Plumutan Kecamatan Bancak Kota Salatiga, sebuah dusun terpencil yang bisa jadi terisolasi dari dunia luar karena posisinya yang berada di tengah-tengah hutan dengan akses jalan yang rusak parah, naik turun tidak karuan sejauh +/- 4 km dari keramaian terdekat.
Untuk lebih membuktikan ke-terpencil-annya, ketahuilah bahwa di tempat ini sinyal telepon nyaris mustahil untuk didapatkan—satu-satunya provider telepon yang (cukup) lancar sinyalnya di desa ini adalah Telkomsel, sedangkan yang lain kembang kempis untuk ada. Jangan tanya soal sinyal internet.
Karena tidak ada sinyal baik telepon (apalagi internet), maka selama tiga hari kemarin saya tidak bisa dihubungi—tidak dapat menjawab sms, Line, dan facebook.
Kegiatan Fisika Peduli ini terdiri dari beberapa konsep acara, yaitu live in, permainan dan edukasi untuk anak, dan penyuluhan untuk warga.
Konsep live ini yaitu para peserta (setiap 6/7 orang) tinggal di rumah warga, untuk mengikuti setiap kegiatan yang dilakukan warga tersebut, entah mencari rumput, pergi ke sawah, dan lain-lain. Dalam hal ini saya tinggal di rumah Pak Marman dan Bu Amini.
Permainan dan edukasi anak berupa pemutaran video singkat tentang pendidikan di daerah terpencil untuk anak-anak, harapannya dengan video ini anak-anak bisa lebih semangat untuk belajar. Untuk permainannya ada bermacam-macam, sendok-kelereng, rantai sarung, joget balon, dan lainnya.
Adapun untuk penyuluhan, dalam kegiatan ini diisi oleh Bapak Sutaryo, ahli biogas dari Fakultas Pertanian dan Peternakan Undip. Pemilihan tema biogas ini berkaitan erat dengan keinginan warga Randusari untuk mengetahui proses pembuatan biogas, mengingat potensi berupa kotoran hewan ternak yang sangat tinggi.
Sebenarnya, dalam kegiatan ini juga ada acara hiburan, berupa rebana warga, nonton video, dan akustikan peserta. Namun, ada kabar duka di Dusun Randusari, salah satu warganya meninggal pada malam hari pertama kita di Randusari. Karena kondisi tersebut, seluruh acara hiburan dibatalkan dan kami semua ikut dalam seluruh prosesi mulai dari takziah, sholat jenazah, pemakaman, dan juga tahlilan di malam harinya.
Ada banyak cerita menarik di kegiatan Fisika Peduli ini, yang sayangnya begitu banyak untuk dituliskan semuanya di sini. Ini salah satunya, Tersesat di Gunung Jati.

Selasa, 10 Mei 2016

Berdoa Menurut Agama dan Kepercayaan Masing-Masing


Dalam (hampir) semua kegiatan yang kita lakukan sehari-hari, seringkali kita mengawalinya dengan doa bersama. Untuk itu, setiap kali hendak memulai kegiatan, ketua kegiatan memimpin prosesi doa bersama dengan berucap, "Sebelum kita mulai kegiatan pada hari ini, mari terlebih dahulu kita berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Berdoa mulai..." selang waktu tidak ada satu menit.. "berdoa selesai."
Pertanyaannya: doa apa yang orang-orang ucapkan dalam kesempatan singkat itu?
Saya pribadi, dulu memanfaatkan kesempatan itu dengan doa singkat, semoga kegiatan kali ini berkah. Pernah juga beberapa kali membaca doa serupa dengan ruang lingkup yang lebih luas, rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah wa qina adzabannar. Karena doa yang singkat itu, saya kerap selesai berdoa lebih dahulu daripada batas waktu singkat yang diberikan.
Lalu seiring berjalannya waktu, mayoritas kesempatan doa itu saya gunakan membaca surat al fatihah. Ternyata waktunya pas! Hehe*

Cuma anekdot saja, yang terpenting sih bukan pas/tidaknya timing doa, tetapi lebih pada keseriusan dan kekhusyu'an doa.
Al-Fatihah...

Minggu, 01 Mei 2016

Mencuci Baju Bersama Iron Man


Apa yang harus diperhatikan saat mencuci baju?
Salah satunya adalah kotoran yang menempel di baju. Untuk itu, kita setidaknya harus menggunakan sabun cuci dan menguceknya agar kotoran itu bisa hilang.
Namun kenyataannya, pada kebanyakan baju kotor di dunia ini sebenarnya tidak terdapat banyak kotoran. Yang ada hanya bau tak sedap yang biasanya disebabkan oleh keringat dan lain-lain.
Oleh sebab itu, dalam mencuci baju tidak penting-penting amat untuk memberi sabun cuci dan mengucek baju lama-lama. Yang terpenting, proses mencuci ini dapat menghilangkan bau tak sedap yang ada. Sehingga dihasilkan baju yang wanginya semerbak. Bukankah kita sangat senang dengan bau wangi pada pakaian?
Lalu, bagaimana caranya?
Tentu ada banyak cara, tapi saran saya, mencucilah bersama Iron Man
Iya, Iron Man.. Kalian kenal Iron Man, bukan? Nama aslinya Robert Downey Jr. Mencucilah bersamanya.

*tidak berlaku untuk pakaian yang benar-benar kotor.

Minggu, 24 April 2016

Nila Delapan Titik

Dalam satu kesatuan sistem, kerusakan sedikit berarti kerusakan seluruhnya.
Benarkah demikian?
Dalam beberapa kasus itu benar, tetapi untuk sistem yang sudah punya antisipasi kerusakan, itu tidak benar. Jika sistem sudah punya antisipiasi kerusakan, kerusakan sedikit tidak merusak keseluruhan, ia tetap bisa bekerja hanya saja hasilnya tidak bisa maksimal.
Dari sejumlah 86 tombol keyboard yang terdiri dari 26 abjad, 10 angka, 11 simbol, dan 39 fungsi, kerusakan satu tombol tidak merusak keseluruhan sistem keyboard. Keyboard tetap bisa digunakan dengan baik, hanya saja sinergisitas yang terbangun bisa njomplang. Untung jika tombol rusak itu bisa dimanipulasi untuk digantikan fungsinya melalui tombol lain, bagaimana jika tidak? Jika tidak, benar-benar rusaklah sinergisitas sistem yang ada. Dengan demikian, 85 tombol normal dan 1 tombol rusak akan sama dengan satu set keyboard rusak—tidak berguna.
Itu kalau yang rusak satu, bagaimana jika 8 tombol yang rusak?
Itulah yang sebelumnya saya alami, satu deret tombol keyboard (dengan 8 tombol) tidak berfungsi. Untunglah fungsinya masih bisa dimanipulasi dengan teknik tertentu—dengan mengcopy-paste teks yang dari dokumen lain. Masih bisa bekerja, hanya saja sinergisitas yang ada benar-benar njomplang dan dengan demikian hasilnya tidak maksimal (benar-benar tidak maksimal). Selagi saya mengetik huruf-huruf lain dengan cepat, saya harus mengcopy-paste satu persatu huruf yang rusak, atau cara lain dengan menekan touchpad pada on-screen keyboard. Benar-benar tidak nyaman. Tapi apa mau dikata, keadaannya seperti itu, ya sudah dijalani secara maksmial dulu aja. Sumber daya seadanya yang digunakan secara maksimal itu lebih baik daripada sumber daya besar tapi digunakan sekenanya.

***

Alhamdulillah, sekarang keyboardnya bisa berfungsi normal kembali. Sinergitas bisa terbentuk kembali, sehingga tercapailah hasil maksimal.
Saatnya berkarya kembali.