Kamis, 24 September 2015

Kembali Merasakan Kebersamaan Ala Pondok

Alhamdulillah, hari ini saya dapat menjalankan shalat idul Adha di Semarang. Nuansa yang berbeda memang, karena di sini tidak ada gulai hati--yang selalu dimasak Bu'e ketika pagi di hari raya (idul fitri dan adha), dan tidak ada pa'e yang selalu nggegeri saya agar segera pergi ke masjid.
Tapi setidaknya di sini saya menemukan kembali secuil nuansa yang pernah saya rasakan, nuansa yang begitu menyejukkan. Inilah nuansa kebersamaan di pondok. Bukan kebersamaan di Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Guyangan seperti tahun-tahun lalu, tapi ini di Pondok Kyai Galang Sewu Tembalang.
Walaupun kos saya berada persis di samping pondok ini, walaupun saya memang sering shalat jamaah di masjid pondok ini, namun saya belum pernah merasakan secara utuh nuansa kebersamaan di pondok ini.
Baru kali inilah saya benar-benar merasakannya. Setelah shalat idul adha ini tadi, nampan berisi nasi dan lauk telah disiapkan untuk dimakan bersama-sama. Banyak warga yang memilih langsung pulang atau melihat hewan qurban, jadi mayoritas yang memakan makanan itu adalah santri pondok Kyai Galang Sewu itu sendiri. Nah, berhubung saya sedang dalam keadaan lapar, saya ikut nimbrung makan. Satu nampan untuk 6-10 orang. Hmm.. Nuansa yang sering saya lihat dan saya rasakan pada tahun-tahun lalu di Pesantren Raudlatul Ulum.
Dari kegiatan makan ini tadi saya juga dapat pelajaran. Di awal-awal makan masih ada banyak lauk, sehingga saya menikmati makanannya. Tapi di akhir-akhir, jumlah lauk tinggal sedikit (lauk yang enak nyaris habis), sementara nasi masih sangat banyak. Maksud saya sih saya mau mengakhiri makan, saya berhenti. Tapi, santri di samping saya menyahut, "ayo, ndang dientekke. (Ayo dihabiskan)"
Jadi mau tidak mau saya meneruskan makan. Saya tidak boleh mengambil bagian enaknya saja (yaitu bagian awal-awal) dan kemudian meninggalkan bagian tidak enaknya (bagian akhir). Ini tentang konsekuensi dan komitmen: kalau memang punya niat untuk makan, ya makan, dan habiskan. 
***
Sampai di kos, Mbah Djirah (pemilik kos) mempersilahkan saya untuk makan di warungnya, gratis. Berhubung saya agak sungkan menolak, akhirnya saya makan lagi. Walaupun saya berspekulasi dengan mengambil sedikit nasi, tetap saja pada akhirnya saya kekenyangan. Ya sudahlah, hitung-hitung sebagai ganti, karena sehari-hari di Semarang biasanya saya selalu lapar.

(Tadi saya tidak sempat memfoto, mungkin tadi pas makan di pondok seperti ini--saya dapat gambar dari internet)

0 komentar:

Posting Komentar