Rabu, 05 Agustus 2015

Setelah Penolakan Undip

Hari-hari setelah penolakan Undip saya jalani kayak biasanya. Saya sante aja (beneran sante, gak kayak yang sebelum-sebelumnya), dan yang bener-bener gak bisa sante itu bapak sama ibu saya.
Harusnya dulu kamu tulis Undip di pilihan pertama aja, pasti kamu bakal ketrima, nggak kayak sekarang ini…” Bapak saya berkhotbah.
Iya, wong temen kamu Dulkamit yang nggak pinter aja bisa ketrima kok, gara-gara dia nulis Undip di pilihan pertama..” Ibu saya menambahi.
Kamu kebanyakan gaya sih… Makanya nggak usah gaya-gayaan mau masuk ke ITS, ngelihat sendiri akibatnya kan.. ITS nggak ketrima, Undip juga nggak ketrima. Temen-temen kamu udah pada enak tinggal registrasi sama nyari kos, lah kamu masih harus ikut seleksi lagi..” Bapak menambahi.
Seperti itulah hari-hari saya dihiasi setelah saya gak ketrima di Undip. Dan saya menikmati itu, karena bagi saya nasehat bapak-ibu saya terdengar seperti lantunan musik yang sangat merdu—beneran.
Ketika mereka berdua udah selesai menasehati, musik indah itu pun berhenti, berbarengan dengan saya nyopot earphone dari telinga saya. Dan kalau mereka mulai menasehati lagi, saya pasang earphone di telinga, dan lantunan musik merdu pun kembali saya dengar. Saya sangat menikmatinya—menikmati musik yang saya dengar.

*ini cuma hiperbola saya aja--saya nggak punya earphone dan bapak-ibu saya juga nggak kayak gitu

0 komentar:

Posting Komentar